Monday, September 16, 2019

Kisah Sukses Mochtar Riady ( Pemilik Lippo Group )


Nama Mochtar Riadi mungkin sedikit asing bagi Anda yang belum mengenal dunia bisnis dengan baik. Namun jika mendengar nama Lippo Group mungkin tak asing lagi untuk Anda. Lippo Group adalah salah satu perusahaan besar di Indonesia yang fokus bisnisnya melalui Media, Properti, Ritel, Keuangan, dan Kesehatan. Salah satu anak usaha yang dimiliki Grup Lippo adalah Meikarta, Rumah Sakit Siloam, Lippo Malls, Berita Satu Media, Hypertmart, Matahari Department Store, Timezone, dan masih banyak lagi.

Namun siapa sangka pendiri sekaligus pemilik dari Lippo Group adalah pria bernama Mochtar Riadi. Dia adalah salah satu orang terkaya di Indonesia saat ini, namanya menjadi langganan dari 10 daftar manusia terkaya di Indonesia versi Forbes.

Lalu seperti apa kisah sukses Mochtar Riadi ? Nah berikut ini adalah cerita inspiratif sang pendiri Lippo Group mulai dari biografi, profil, hingga perjalanan hidup yang mungkin akan memberikan kita pelajaran yang berharga. Simak Penjelasannya.

Biografi
Mochtar Riady lahir di Kota Malang, pada tanggal 12 Mei 1929. Mochtar adalah keturuan Chinese, ayahnya adalah seorang pedagang batik bernama Liapi, sedangkan ibunya bernama Sibelau. Kedua orang tuanya merantau dari Fujian ke Malang pada tahun 1918.

Mochtar Riady telah bercita-cita menjadi seorang bankir saat usianya masih 10 tahun. Ketertarikan Mochtar Riady ini disebabkan karena setiap hari ketika berangkat sekolah, dia selalu melewati sebuah gedung megah yang merupakan kantor dari Nederlandsche Handels Bank (NHB) dan melihat para pegawai bank yang berpakaian rapih dan kelihatan sibuk.

Mochtar Riady akhirnya sangat ingin menjadi seorang bankir, namun ayahnya tidak mendukung keinginan tersebut karena profesi bankir hanya untuk orang-orang kaya saja, sedangkan kondisi keluarga mereka saat itu terbilang miskin.

Pada usianya yang menginjak 18 tahun, tepatnya pada tahun 1947. Mochtar ditangkap oleh pemerintah Belanda karena menentang pembentukan Negara Indonesia Timur dan sempat ditahan di penjara Lowokwaru, Malang. Ia kemudian di buang ke Cina, di sana Mochtar melanjutkan pendidikannya dengan mengambil kuliah filosofi di Universitas Nanking. Mochtar Riady tinggal di Hongkong hingga tahun 1950, dan kemudian kembali lagi ke Indonesia.

Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1951, Mochtar menikahi anak seorang pengusaha bernama Suryawati Lidya, seorang wanita cantik asal Jember. Dari pernikahaanya, Mochtar Riady di anugerahi empat orang anak bernama, Rosy Riady, Andrew Taufan Riady, Stephen Tjondro Riady dan James Tjahaja Riady.

Oleh mertuanya, Mochtar Riady diserahi tanggung jawab untuk mengurus sebuah toko kecil. Dalam tempo tiga tahun, Mochtar Riady telah dapat memajukan toko kecil mertuanya tersebut menjadi toko terbesar di Jember.

Hal inilah yang membuat keinginan masa kecilnya untuk menjadi seorang bankir kembali muncul. Riady lantas memutuskan untuk pergi ke Jakarta pada tahun 1954, walaupun saat itu dia tidak memiliki seorang kenalan pun di sana dan disisi lain keputusannya itu di tentang oleh keluarganya juga. Namun Mochtar Riady berprinsip bahwa

“JIKA SEBUAH POHON DI TANAM DI DALAM POT ATAU DI DALAM RUMAH, TANAMAN ITU TIDAK AKAN PERNAH TINGGI DAN BERKEMBANG, NAMUN AKAN TERJADI SEBALIKNYA BILA DI TANAM DI SEBUAH LAHAN YANG LUAS”


Mulai Berkarir
Mochtar Riady mengawali karirnya di jakarta saat bekerja di sebuah CV di jalan hayam wuruk selama enam bulan, hal ini dilakukan untuk membangun relasi. Setelah itu, ia bekerja pada seorang importer, sekaligus membangun bisnis kapal bersama temannya.

Walau saat itu, keinginan untuk menjadi seorang bankir masih menggelora di dadanya. Ia selalu mengutarakan keinginan itu kepada relasi-relasinya. Dan pada akhirnya, seorang temannya mengabarinya jika ada sebuah bank yang lagi terkena masalah dan menawarinya untuk memperbaikinya.

Mochtar Riady tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut walau saat itu dia tidak punya pengalaman sekalipun. Mochtar Riady berhasil meyakinkan Andi Gappa, pemilik Bank Kemakmuran yang bermasalah tersebut sehingga ia pun ditunjuk menjadi direktur di bank tersebut.

Setelah menjadi direktur bank, ia mulai kebingungan saat disodori “balance sheet”. Ia lantas memutuskan untuk memperdalam ilmu akuntansi. Setelah pengetahuannya mulai luas. Mochtar Riady mulai bertindak dan membuat kemajuan besar pada Bank Kemakmuran hanya dalam waktu satu tahun.

Setelah cukup besar, pada tahun 1964, Mochtar Riady pindah ke Bank Buana. Kemudian pada tahun 1971, dia pindah lagi ke Bank Panin yang merupakan gabungan dari Bank Kemakmuran, Bank Industri Jaya, dan Bank Industri Dagang Indonesia. Setelah bekerja beberapa tahun di Bank Panin, pada tahun 1975, Mochtar Riady kemudian pindah ke Bank BCA yang dimiliki oleh Soedono Salim ketika itu.

Setelah memberikan pengaruh besar di bank BCA. Mochtar diberikan 17,5 persen saham dan menjadi orang kepercayaan Soedono Salim. Aset BCA ketika Mochtar Riady bergabung hanya Rp 12,8 miliar. Mochtar baru keluar dari BCA pada akhir 1990 dan ketika itu aset bank tersebut sudah di atas Rp5 triliun.

Kemudian, Mochtar membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia milik Haji Hasyim Ning pada 1981. Waktu dibeli, aset bank milik keluarga Hasyim telah merosot menjadi hanya sekitar Rp 16,3 miliar. Bergabung dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia bergabung, aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500 persen menjadi Rp257,73 miliar. Ia lantas di juliki “The Magic Man of Bank Marketing”.

Dua tahun kemudian, pada 1989, bank ini melakukan merger dengan Bank Umum Asia dan semenjak saat itu lahirlah Lippobank. Inilah cikal bakal dari lahirnya Lippo Group. Pada tahun 1990, Mochtar Riady kemudian keluar dari bank BCA dan fokus membangun Bank Lippo.


Membangun Lippo Group
Di bawah kendali Mochtar Riady, Lippo Group berkembang dengan cepat. Bahkan bank yang didirkan Mochtar selamat dari guncangan krisis moneter, walaupun sempat digoyang isu kalah kliring (1995) dan persoalan rekapitalisasi (1999), namun perusahaan ini mampu untuk bertahan.

Tak hanya puas dalam sektor keuangan, Ekspansi yang di lakukan Lippo Group terbilang sangat lincah untuk memperluas core bisnisnya. Berikut ini adalah salah satu bagian dari core bisnis Grup Lippo.

Jasa keuangan yang meliputi perbankan, investasi, asuransi, sekuritas, manajemen aset dan reksadana.Properti dan urban development.
Bisnis yang meliputi pembangunan kota satelit terpadu, perumahan, kondominium, pusat hiburan dan perbelanjaan, perkantoran dan kawasan industri. Salah satu yang populer adalah Lippo Karawaci, dan Meikarta.
Bidang jasa-jasa yang meliputi teknologi informasi, bisnis ritel, rekreasi, hiburan, hotel, rumah sakit, dan pendidikan. Beberapa yang populer adalah Siloam Hospital, Matahari Departement Store, Hypermart, Lippo Mall, dan Berita Satu Media.
Pembangunan infrastruktur, seperti pembangkit tenaga listrik, produksi gas, distribusi, pembangunan jalan raya, pembangunan sarana air bersih, dan prasarana komunikasi. Hampir semua bisnis ini dikonsentrasikan di luar negeri dan dikontrol oleh kantor pusat Lippo Group yang berbasis di Hong Kong, dipimpin puteranya Stephen Riady. Aktivitas bisnisnya, antara lain, pembangunan jalan tol di Guang Zhou, pembangunan kota baru Tati City di Provinci Fujian, Gedung Perkantoran Plaza Lippo di Shanghai dan membangun kawasan perumahan elit dan perkantoran di Hong Kong.
Baca Juga: 20 Cara Positif Menjadi Pengusaha Sukses dari Nol sampai Sukses

Kesuksesan Mochtar Riady
Keberhasilan yang di raih oleh Mochtar Riady tak diragukan lagi. Totalitasnya membangun Lippo Group hingga meraksasa seperti sekarang ini patut di beri penghargaan. Lippo Group semakin besar ketika kendalinya mulai dipegang oleh suksesornya yaitu anaknya sendiri James Riady.

Keberhasilannya membangun Lippo Group sejalan dengan apa yang diraihnya. Ia selalu di nobatkan sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Menurut data dari Forbes 2018, Mochtar Riady berada di posisi ke sembilan sebagai orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan sebesar US$ 3 Milliar atau sekitar Rp 39 Triliun.


Saturday, September 14, 2019

Kisah Sukses Mark Zuckerberg ( Pendiri Facebook )


Sejak muda sudah keranjingan komputer. Ketika di Harvard sempat jadi pemberontak dengan membuka website data mahasiswa, ia pun diperkarakan. Lalu Facebook yang dibuatnya menggoncangkan dunia dan membawanya menjadi anak muda terkaya di dunia.

Namanya Mark Elliot Zuckerberg, dilahirkan di Dobb Ferry, West chester County, New York, 14 Mei 1984. Sekolah menengah di Ardsley High School, Ardsley, New York (1998-2000) dan Phillips Exeter Academy, Exeter, New Hamshire (2000-2002). Pendidikan universitas di bidang psikologi, Harvard University (drop-out). Perusahaan yang dimiliki, Facebook Inc. Kekayaan US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 13,5 triliun), ranking ke-785 orang terkaya dunia versi Majalah Forbes 2008.

Adakah yang tidak mengejutkan dari data tersebut? Zuckerberg baru akan genap berusia 24 tahun pada Mei ini. Ia tak menyelesaikan kuliah di Harvard University tetapi berhasil membangun Facebook yang membuatnya mengumpulkan kekayaan sampai Rp 13,5 triliun. Siapapun akan menyebutnya luar biasa. “Dia adalah billionaire termuda di dunia saat ini, dan kami yakin ia adalah billionaire ter muda sepanjang sejarah yang mengumpulkan sendiri kekayaannya,” ujar Matthew Miller, associate editor Majalah Forbes.

Sebelum ini Forbes pernah memasukkan anak belia di deretan orang terkaya dunia namun mereka mendapatkannya dari warisan orangtuanya yang meninggal. Sedangkan Zuckerberg mendapatkannya dari hasil kerjanya. Lalu majalah ini menobatkan Zuckerberg sebagai “The Youngest `Self-made’ Billionaire on the Planet” tahun ini.

Awalnya Direktori Mahasiswa Zuckerberg lahir di kawasan bernama Dobbs Ferry, Westchester County, kota New York. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara dari orang tua pasangan dokter gigi – psikiater. Sejak kecil Zuckerberg suka mengu tak-atik komputer, mencoba berbagai program komputer dan belajar membuatnya. Ayahnya sendiri membelikannya komputer sejak ia beru sia delapan tahun. Saat di sekolah menengah Phillips Exeter Academy, ia dan rekannya, D’Angelo, membuat plug-in untuk MP3 player Winamp. Plug-in adalah program komputer yang bisa berinteraksi dengan aplikasi host seperti web browser atau email untuk keperluan tertentu.

Zuckerberg dan D’Angelo membuat plug-in untuk menghimpun kesukaan orang terhadap aneka jenis lagu dan kemudian membuat play list-nya sesuai selera mereka. Mereka mengirimkan program itu ke berbagai perusahaan termasuk ke AOL (American Online) dan Microsoft. Pada tahun terakhimya di Phillips ia direkrut oleh Microsoft dan AOL untuk suatu proyek.

Saat melanjutkan sekolah ke perguruan ting gi keduanya harus berpisah. D’Angelo masuk Caltech sedangkan Zuckerberg masuk Harvard. Di Harvard inilah Zuckerberg menemukan ide membuat buku direktori mahasiswa online karena universitasnya tak membagikan face book (buku mahasiswa yang memuat foto dan identitas mahasiswa di universitas itu) pada mahasiswa baru sebagai ajang pertemanan di antara mereka. Namun setiap kali ia menawarkan diri membuat direktori itu, Harvard menolaknya. “Mereka mengatakan punya alasan untuk tidak mengumpulkan informasi (mahasiswa) ini,” ujar Zuckerberg kemudian.

Meski ditolak ia selalu mencari cara untuk mewujudkannya. “Saya ingin menunjukkan kalau hal itu bisa dilakukan,” lanjutnya soal kengototannya membuat direktori itu.

Proyek pertamanya adalah CourseMatch (www.coursematch.com) yang memungkinkan teman-teman sekelasnya berkomunikasi satu sama lain di website tersebut. Suatu malam di tahun kedua ia kuliah di Harvard, Zuckerberg menyabot data mahasiswa Harvard dan memasukkannya ke dalam website yang ia buat bernama Facemash. Sejumlah foto rekan mahasiswanya terpampang di situ. Tak lupa ia membubuhkan kalimat yang meminta pengun jungnya menentukan mana dari foto-foto ini yang paling “hot”. Pancingannya mengena. Dalam tempo empat jam sejak ia meluncurkan webiste itu tercatat 450 orang mengunjungi Facemash dan sebanyak 22.000 foto mereka buka. Pihak Harvard mengetahuinya dan sambungan internet pun diputus. Zuckerberg diperkarakan karena dianggap mencuri data. Anak muda berambut keriting ini pun meminta maaf kepada rekan-rekan yang fotonya masuk di Facemash. Tetapi ia tak menyesali tinda kannya. “Saya kira informasi seperti itu harus tersedia (online),” ujamya.


Alih-alih kapok ia malah membuat website baru dengan nama Facebook (www.thefacebook.com). Website ini ia luncurkan pada Februari 2004. Facebook merupakan penyempurnaan dari Facemash. Sasarannya tetap sebagai tempat pertemuan sesama mahasiswa Harvard. Dalam penjelasan di website-nya sekarang disebutkan bahwa Facebook adalah suatu alat sosial untuk membantu orang berko munikasi lebih efisien dengan rekan, keluarga, atau rekan kerjanya. Facebook menawarkan navigasi yang mudah bagi para penggunanya. Setiap pemilik account punya ruang untuk memajang fotonya, teman-temannya, network, dan melakukan hal lainnya seperti bisa berkirim pesan dan lain sebagainya.

Banyaknya aplikasi yang bisa digunakan oleh anggotanya membuat Facebook digan drungi banyak orang. Konon hingga saat ini sudah lebih dari 20.000 aplikasi dimasukkan ke dalam Facebook yang bisa digunakan para anggotanya. Setidaknya 140 aplikasi baru ditambahkan ke Facebook setiap harinya dan 95% pemilik account Facebook telah menggu nakan minimal satu aplikasi.

Penyertaan banyak aplikasi ini membuat Facebook berbeda dengan website jejaring sosial terdahulu seperti MySpace. Lalu orang berbondong-bondong mengunjungi website nya dan mendaftar jadi anggotanya. Dalam waktu dua minggu setelah diluncurkan, separuh mahasiswa Harvard sudah memiliki account di Facebook. Ternyata tak hanya mahasiswa Harvard yang tertarik, beberapa kampus di sekitar Harvard pun meminta dimasukkan dalam jejaring Facebook. Ini membuat Zuckerberg kewalahan. Ia lalu meminta bantuan dua temannya untuk ikut mengem bangkan Facebook. Dalam tempo empat bulan Facebook sudah bisa menjaring 30 kampus. Hingga akhir 2004 jumlah pengguna Facebook sudah mencapai satu juta.

Pengguna Facebook terus meningkat. Malah ada sejumlah orang yang tak lagi jadi mahasiswa atau yang masih di sekolah ingin bergabung. Tingginya desakan ini membuat Zuckerberg dan kawan-kawan memutuskan Facebook membuka jaringan untuk para siswa sekolah menengah (di sini SMU) pada Sep tember 2005. Tak lama kemudian mereka juga membuka jejaring para pekerja kantoran. Kesibukan yang luar biasa ini membuat Zuckerberg harus memutuskan keluar dari Harvard. “Apa yang saya inginkan sudah ada di tangan. Saya tidak ingin punya ijazah kemudian bekerja. Menurut saya, pekerjaan hanyalah untuk orang-orang yang lemah,” ujarnya pada Majalah Current.

Zuckerberg dan kawan-kawan kemudian mengembangkan Facebook lebih jauh lagi. Pada September 2006 Facebook membuka pendaftaran untuk jejaring umum dengan syarat memiliki email. Sejak itulah jumlah anggota Facebook melesat.
Saat ini jumlah anggota aktifnya mencapai 70 juta di seluruh dunia. Jejaring yang dihim punnya mencapai enam juta jaringan (ke lompok pertemanan) meliputi 55.000 jaringan berdasarkan demografi, pekerjaan, sekolah, kolegial, dan sebagainya. Setiap harinya ada 14 juta foto di-upload (dimasukkan ke Facebook). Dan dalam hal jumlah trafik pengakses Facebook menjadi website teraktif ke-6 di dunia dan menjadi website jejaring sosial kedua terbesar versi camScore.

Jual Saham Jadi Kaya, Jumlah anggota Facebook yang jutaan or ang itu menjadi tambang emas yang meng giurkan. Zuckerberg dan kawan-kawan pun menangkap peluang bisnis yang besar. Karena itu ketika jumlah user-nya melebihi satu juta mereka menggandeng Accel Part ners, perusahaan modal ventura, untuk membiayai pengembangannya. Modal yang ditanamkan adalah US$ 12,7 juta. Ini adalah investasi kedua yang masuk ke Facebook setelah sebelumnya (Juni 2004) men dapatkan dan dari pendiri PayPal sebesar US$ 500.000. Pembenahan pertama dengan tambahan modal itu adalah dengan meng ganti domain-nya dari www. thefacebook. corn menjadi http://www.facebook.com pada Agustus 2005. Setelah itu jangkauan keanggotaannya diperluas menjadi internasional. Hingga Desember 2005 jumlah anggotanya sudah mencapai 5,5 juta.

Meski jumlah user-nya meningkat tajam pada tahun 2005 disebutkan Facebook menga lami kerugian sampai US$ 3,63 juta. Facebook kemudian mendapatkan dana sebesar US$ 25 juta dari Greylock Partners dan Meritech Capi tal Partners. Dana itu digunakan untuk meluncurkan versi mobile-nya.

Pada September 2007 Microsoft melakukan pendekatan dan menawarinya membeli 5% saham senilai sekitar US$ 300 juta hingga US$ 500 juta. Jika nilai itu disetujui maka nilai kapitalisasi Facebook sudah mencapai US$ 6 miliar hingga US$ 10 miliar atau sekitar Rp 54 triliun hingga Rp 90 triliun. Namun Microsoft akhirnya mengumumkan hanya membeli 1,6% saham Facebook dengan nilai US$ 240 juta pada Oktober 2007. Transaksi ini menunjukkan nilai kapitalisasi Facebook ternyata lebih tinggi yaitu sekitar US$ 15 miliar (sekitar US$ 135 triliun).

Setelah itu sejumlah tawaran mengepung Facebook. Li Ka-shing disebut-sebut ikut menginvestasinya sekitar US$ 60 juta pada November 2007. Lalu ada berita yang menyebutkan Viacom, Yahoo, Google, dan sebagainya pun ikut menawar untuk membeli Facebook. Sejauh ini Zackerberg me ngatakan Facebook tak akan dijual.

Melesatnya bisnis Facebook membuat Zackerberg menampuk kekayaan yang luar biasa. Majalah Forbes menyebutkan kekayaan Zackerberg sendiri mencapai US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun. Jangankan untuk anak seusia Zackerberg, untuk orang dewasa pun harta sebanyak itu tentu jumlah yang luar biasa besar. Maka wajar jika majalah itu menobatkannya sebagai The Youngest `Self-made’ Billionaire on the Planet.

Prestasi yang diraih Zackerberg tak benar -benar mulus. Sejumlah perkara ia dapatkan sehubungan dengan Facebook. Termasuk dari rekannya di Harvard yang menyebutkan rancangan Facebook sebenarnya tiruan dari ConnectU. Namun Zackerberg tetap bergeming bahwa Facebook merupakan hasil karyanya. Meskipun ConnectU kalah dalam persidangan pertama, perusahaan ini mendaftarkan gugatan baru pada Maret 2008.

Kontroversi juga datang dari negara-negara seperti Myanmar, Bhutan, Syria, Arab Saudi, Iran dan sebagainya yang menyebutkan kalau Facebook mempromosikan serangan terhadap otoritas pemerintahannya sehingga akses terhadap Facebook di negara tersebut ditutup.

Di tengah sejumlah kontroversi itu, nama Facebook dan Mark Zackerberg tetap digan drungi banyak orang. Zackerberg sendiri di tengah kepopuleran namanya dan jumlah kekayaan yang dimilikinya, ia tetap sederhana. Ia masih tinggal di apartemen sewaan dan di kamarnya hanya tersedia sebuah meja dan kursi. Kasurnya diletakkan di lantai. Kala datang ke kantornya di Palo Alto, Zackerberg kerap berjalan kaki atau mengendarai sepeda. Tak tampak sebagai miliuner (dalam US$ dol lar, tentunya) atau triliuner (dalam rupiah).

Thursday, September 12, 2019

Kisah Sukses Dahlan Iskan ( Jawa Pos & PLN )

Dahlan Iskan adalah sosok mantan menteri yang cukup fenomenal. Berbagai gebrakan dibuatnya. Kisah hidupnya yang penuh liku mulai dari hidup yang amat susah sampai menderita penyakit yang hampir membuatnya kehilangan nyawa namun bisa menjadi menteri cukup menjadi inspirasi bagi banyak orang. Beberapa buku pun memuat biografi Dahlan Iskan. Berikut adalah kisah hidupnya.

Masa kecil Dahlan Iskan

Dahlan Iskan mengalami masa hidup yang sulit ketika ia masih kecil. Jangankan untuk bermain mainan seperti anak-anak lainnya, Dahlan justru hanya memiliki baju satu stel yaitu kaos dan celana serta satu sarung.

Ketika sekolah bahkan ia tidak mempunyai sepatu. Sementara ia harus berjalan kaki puluhan kilometer tanpa alas kaki untuk menuju ke sekolahnya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya kakinya yang setiap hari harus berjalan sejauh itu, mungkin menginjak batu atau ranting.

Maka untuk memiliki sepatu adalah cita-cita yang amat tinggi baginya saat itu. Namun Ayahnya hanya seorang buruh serabutan yang mendapat penghasilan seadanya, sementara ibunya  bekerja sebagai pengrajin batik di desanya. Sulit bagi kedua orang tua ini untuk membelikan sepatu yang saat itu termasuk benda dengan harga mahal.

Penderitaannya semasa kecil bukan hanya itu, sepulang sekolah Dahlan Iskan harus bekerja membantu orang tuanya seperti menyabit rumput, menjadi kuli seset di kebun tebu, menggembala kambing dan lainnya.

Dahlan Iskan Mulai Berkarir

Setamat SMA Dahlan kuliah di IAIN Sunan Ampel dan di Universitas 17 Agustus. Namun kuliahnya tidak tamat karena kesibukan di berbagai hal. Dahlan Iskan pun hijrah ke Samarinda, Kalimantan Timur. Di sana ia menjadi reporter surat kabar lokal.

Pada Tahun 1976, Dahlan kembali ke Surabaya dan bekerja sebagai wartawan majalah Tempo. Dahlan pun diangkat sebagai kepala biro Tempo Jatim karena tulisan-tulisannya banyak diminati pembaca.

Dahlan Iskan memimpin Jawa Pos

Jawa Pos adalah koran yang hampir bangkrut. Pada tahun 1982, The Chung Shen pemilik Jawa Pos merasa tak mampu lagi mengurus usahanya yang semakin merugi. Akhirnya Jawa Pos pun dijual.

Jawa Pos akhirnya dibeli oleh Direktur Utama PT Grafiti Pers, Penerbit Tempo yaitu Eric Samola. Eric Samola melihat prestasi Dahlan Iskan selama bekerja di Jawa Pos sangat baik dan Eric melihat Dahlan punya keinginan untuk berbuat lebih, maka dari itu pada tahun 1982 Dahlan Iskan dipromosikan menjadi pemimpin Koran Jawa Pos.

Saat awal memegang tanggung jawab itu, Jawa Pos nyaris bangkrut. Oplahnya saja hanya 6.800 eksemplar. Dan tak banyak orang yang tau Jawa Pos. Saat itu di sebelah kantor Jawa Pos ada sebuah Bank yang bernama Bank Karman. Orang jauh lebih mengenal Bank Karman dibanding Jawa Pos saat itu. Namun Dahlan pun bertekad bahwa suatu saat Jawa Pos akan bangkit lagi dan jauh lebih dikenal dibanding Bank Karman.

Dahlan Iskan langsung membuat gebrakan. Saat itu kebiasaan orang membaca koran adalah di sore hari yaitu di saat-saat santai pulang kerja. Dan hampir semua koran saat itu terbit di sore hari. Namun Dahlan mengusulkan kepada seluruh stafnya untuk menerbitkan koran Jawa Pos di pagi hari. Ia ingin memberikan kesan bahwa Jawa Pos memberikan berita yang lebih cepat dan aktual. Namun usulan itu tak serta merta diterima. Pasalnya kebiasaan membaca koran pada saat itu adalah di sore hari.

Akhirnya Jawa Pos terbit di pagi hari. Awalnya masyarakat terkejut ada koran yang terbit di pagi hari. Tetapi dengan sabar Dahlan dan timnya mengedukasi masyarakat untuk membaca koran di pagi hari karena agar masyarakat tau berita lebih cepat dan up to date.

Pelan-pelan masyarakat pun mulai terbiasa membaca koran di pagi hari. Saat itu Jawa Pos hampir tidak ada saingannya karena koran lain tetap terbit sore hari. Akhirnya dalam kurun waktu lima tahun yaitu 1982-1987 Jawa Pos berhasil terbit dengan oplah 126.000 eksemplar. Omset Jawa Pos naik 20 kali lipat dari omset saat ia pertama kali memimpin Jawa Pos di tahun 1982 yaitu mencapai 10,6 miliar.



Dahlan Iskan menjadikan Jawa Pos yang hampir bangkrut menjadi surat kabar yang sukses. Selain itu Dahlan juga berhasil mengubah kebiasaan masyarakat dari membaca koran di sore hari menjadi pagi. Koran lain yang awalnya terbit sore juga ikut terbit pagi hari.

Pada tahun 1993 saat usianya 42 tahun, Dahlan mengundurkan diri menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum Jawa Pos karena ia ingin memberikan kesempatan pada orang yang lebih muda untuk berkarya. Selaini itu Dahlan Iskan ingin fokus mengembangkan jaringan media Jawa Pos, yang awalnya hanya menerbitkan koran saja, kemudian juga membuat majalah dan juga surat kabar daerah lain. Jaringan ini terkenal dengan nama Jawa Pos News Network (JPNN). JPNN adalah jaringan media terbesar di Indonesia saat ini dengan memimpin 190 surat kabar, tabloid dan majalah serta memiliki 40 percetakan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dahlan Iskan membangun gedung pencakar langit dengan nama Graha Pena untuk pusat aktivitas JPNN pada tahun 1997. Dahlan Iskan juga membangun gedung serupa di Jakarta untuk lebih mengukuhkan keberadaan JPNN di tanah air.

Selain itu Dahlan juga melirik media elektronik dengan mendirikan stasiun TV lokal surabaya yaitu JTV dan SBO, di Pekanbaru yaitu Riau TV, FMTV, di Batam yaitu Batam TV, di Makassar, di Palembang yaitu PTV, dan Parahyangan TV di Bandung juga di kota-kota lainnya. Jumlah stasiun televisi lokal yang didirikan mencapai 34 stasiun televisi lokal.

Selain di bisnis media, Dahlan Iskan juga mengembangkan usahanya ke bisnis real estate dan hotel,. Dahlan Iskan juga memiliki perusahaan yang berkaitan dengan listrik yaitu PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima

Dahlan Iskan memimpin PLN

Keberhasilan Dahlan Iskan memimpin Jawa Pos yang tadinya hampir bangkrut menjadi group perusahaan yang amat berkembang membuat namanya melambung. Bahkan namanya pun menarik perhatian presiden SBY saat itu. Di saat banyak masyarakat yang mengeluh karena seringnya listrik mati, dan dirut PLN saat itu pun banyak menuai kritikan, akhirnya presiden SBY menunjuk Dahlan Iskan untuk membenahi PLN dengan mengangkatnya sebagai dirut PLN.

Di hari pertama memimpin, Dahlan Iskan membuat gebrakan. Ia membuat beberapa program diantaranya bebas bayar-pet se Indonesia dalam waktu enam bulan, gerakan sehari sejuta sambungan, pencabutan capping yaitu batas tarif listrik industri, sehingga lebih adil dan dapat menumbuhkan iklim investasi di Indonesia.

Selain itu saat memimpin PLN Dahlan Iskan juga membangun sejumlah besar proyek seperti membangun PLTS di 100 pulau pada tahun 2011 yang saat dipimpin dirut yang sebelumnya PLN hanya berhasil membangun PLTS di 5 pulau. Dan fakta unik yang menarik adalah ternyata selama memimpin PLN Dahlan Iskan tidak mengambil gajinya sebagai CEO PLN dan tidak menempati rumah dinas.

Selama dipimpin Dahlan Iskan PLN banyak mengalami kemajuan. Ia hanya memimpin PLN selama 2 tahun saja. Selanjutnya Presiden SBY menunjuknya untuk menjadi menteri BUMN.

Dahlan Iskan menjadi menteri BUMN

Saat menjabat sebagai menteri BUMN pun ia memilik banyak program. Salah satunya ia ingin membersihkan BUMN dari korupsi.

Nama Dahlan Iskan mulai semakin dikenal masyarakat ketika ia melihat di jalan tol mobil-mobil mengantre sementara ada pintu tol yang ditutup. Ia pun spontan membuka pintu tol tersebut hingga mobil lainnya bisa masuk. Sejak saat itu ia dikenal sebagai menteri yang spontanis.

Salah satu program yang cukup diberitakan saat itu adalah mobil listrik nasional. Ia sadar bahwa bahan bakar fosil suatu saat akan habis dan ia mencanangkan program mobil listri nasional. Enginer-enginer handal Insoneisia diajaknya untuk mengembangkan mobil nasional. Salah satunya adalah Ricky Elson yang saat itu sudah dipercaya bekerja di Jepang.

Prototipe mobil listrik yang diberi nama Tuxuci pun jadi. Dahlan iskan pun ikut mencobanya saat itu. Namun sayang, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan karena rem blong. Beruntung ia dan rekannya tidak mengalami luka yang berarti. Namun projek mobil listrik nasional terus dijalankan. Setelah Tuxuci, prototipe mobil listrik yang berikutnya dinamakan Selo.


Dahlan Iskan menderita penyakit

Di tengah sepak terjangnya yang begitu aktif, mungkin tak banyak orang yang tau kalau beliau pernah menderita penyakit yang membuatnya hampir kehilangan nyawa. Ia mengalami muntah darah.

Setelah melakukan pengecekan kepada seorang dokter, ternyata liver atau hatinya telah sirosis. Selain itu, hati yang telah rusak juga sudah dipenuhi kanker. Saat itu ia pun divonis dokter hanya bisa hidup sekitar enam bulan, atau paling lama dua tahun. Dokter pun menyarankannya untuk melakukan transplantasi. Operasi itu tentu sangat berisiko tinggi. Di sisi lain mencari donor hati amatlah sulit. Tapi akhirnya transplantasi hati itu berhasil berjalan dengan baik.

Dahlan Iskan Menjadi Calon Presiden

Pada saat pemilu 2014 lalu, Dahlan Iskan sempat mengikuti seleksi calon presiden yang diadakan oleh partai Demokrat. Ia memang bukan orang partai, ia pun memanfaatkan kesempatan seleksi terbuka tersebut.

Dahlan pun menjadi kandidat favorit dan terpilih menjadi calon presiden dari Partai Demokrat dengan mengungguli pesaing lainnya. Namun langkahnya harus terhenti karena perolehan suara Partai tersebut tidak memungkinkan untuk mencalonkan presiden.

Dahlan Iskan terjerat kasus korupsi

Dari kisah hidup Dahlan Iskan yang semasa kecil hidupnya susah namun bisa memimpin perusahaan yang tadinya hampir bangkrut namun jadi berkembang luar biasa, kemudian memimpin BUMN hingga menjadi menteri BUMN, dan sepak terjangnya banyak yang membuat masyarakat kagum, banyak orang yang terkejut ketika Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan gardu PLN oleh kejaksaan tinggi DKI Jakarta.

Menurut Kejaksaan, penyimpangan ditemukan antara lain ketika penandatanganan kontrak pembangunan gardu induk pada 2011, tetapi lahannya belum dibebaskan. Dahlan dianggap bersalah karena melanjutkan proyek untuk menghindari pemadaman bergilir ketika lahannya belum dibebaskan. Kasus ini ditangani Kejaksaan Tinggi Jakarta.

Bukan hanya itu, projek mobil listrik nasional yang diusungnya pun menjadi dipermasalahkan. Jaksa menganggap Dahlan menyalahgunakan wewenang sebagai menteri dengan menunjuk langsung penyedia mobil listrik tanpa melalui tender.

Saat memimpin PLN dan BUMN Dahlan memang sempat mengatakan kalau dirinya siap dipenjara. Dahlan memang dalam memimpin sering “mendobrak aturan” yang dapat menghambat pekerjaan. Keputusannya memang berani, namun hal itu justru menjadi boomerang baginya.

Itulah sekelumit kisah hidup Dahlan Iskan yang mengandung banyak inspirasi. Ia sudah mengalami menjadi anak yang sangat miskin, pernah pula hampir mati karena penyakitnya. Dan kini penetapannya sebagai tersangka menjadi babak baru dalam hidupnya. Apakah ini ujian baru baginya ataukah hukuman?



Wednesday, September 11, 2019

Pengusaha Muda Erick Thohir Mahaka Media ( TV One )



Erick Thohir dikenal sebagai salah satu dari sekian pengusaha muda yang sukses menggeluti bisnis media dan hiburan. Dia pun terobsesi menjadi salah satu raja media di negeri ini. Selain membidik pasar bisnis media yang segmented danme nyasar komunitas, Erick juga melejitkan klub bola basket Mahaka Satria Muda dan Mahaputri Jakarta.

Untuk mengikuti kisah sukses Grup Mahaka, berikut petikan wawancara dengan Erick :

Bisa diceritakan kapan mulai terlibat di bisnis media?

Saya pulang dari Amerika Serikat (AS) pada 1993. Saat itu masih berusia 23 tahun. Sekolah sudah selesai danmeraih gelar bachelor dan master[Erick lulus dari National University, California, AS]. Kenapa pulang? Kebetulanbapak saya yang sudah kerja [dagang] dari usia 10-11 tahun, sudahwaktunya istirahat. Kakak saya [BoyGa ribaldi Thohir], pulang pada 1991 langsung meneruskan bisnis keluarga, sehingga ketika saya pulang ke Indonesia, juga langsung membantu.

Kami punya grup [bisnis keluarga] namanya Tri Nugraha Thohir. Bergerakdi empat bidang yakni pertambangan batu bara, properti, restoran (makanan) yakni Hanamasa dan Pronto, serta otomotif (sepeda motor).

Bapak saya, awalnya memiliki belasan perusahaan lalu dijual dan fokus mengelola empat bidang tersebut.

Saya disuruh membantu menanganibisnis makanan (restoran), mulai 1993-1998. Saat itu kami barumemiliki Hanamasa.

Saat baru masuk, gerai Hanamasa baru 3 outlet dan terakhir saya tinggalkansudah ada 20-anoutlet yang tersebar diberbagai kota.

Pronto, yang kami ambil alih, waktu itu ada empat outlet, kemudian sayatutup tiga dan tersisa satu outlet di Pondok Indah.

Dari Pondok Indah kami start ulang lagi dan sekarang ada 3-4 gerai Pronto.

Sebelumnya saya tidak memiliki latar belakang pendidikan untuk bisnis makanan. Saya meraih gelar bachelor untuk advertising dan master dibidang marketing. Tidak ada hubungan, tapi mirip-mirip lah.

Pada 1998, ketika mau mengembangkan bisnis restoran, krisis terjadidan bunga bank naik. Padahal konsep pengembangan ini sudah jadi. Saya mau meminjam Rp10 miliar-Rp20miliar untuk mengembangkan gerai menjadi 50 outlet, ternyata begitu dapat uang Rp3 miliar, bunganya 80%.

Ketika bunga naik menjadi 80% itu berat sekali, tetapi kita bisa bayar sehingga langsung dibayar. Ekspansi tertunda. Memang kebetulan filosofi keluarga saya tidak berutang. Seperti Hanamasa sekarang tidak ada utang dibank sama sekali, nah itu yang menyelamatkan.


Kapan memiliki bisnis sendiri?

Ketika ekspansi bisnis resto tertunda, teman-teman saya semasa sekolah di AS, seperti M. Lutfi, Wisnu Wardhana,dan Harry Zulnardy mengajak untuk berbuat sesuatu. Obrolan ini sudah dimulai pada 1996-1997.

Bukannya tidak menurut pada orang tua dan kakak, tetapi sebenarnya saya juga ingin punya bisnis sendiri.

Kebetulan keluarga memutuskan Boy menjadi pimpinan dan kalau saya mau membangun usaha sendiri, tidak boleh menjalankan operasional bisnis keluarga, cukup menjadi komisaris saja, supaya jangan ribut. Lalu, bisnis otomotif, makanan dan lainnya dijalankan oleh para profesional dipegang Boy, saya beserta adik saya [Rika] menjadi komisaris.

Dari situ, setelah teman-teman mengajak, saya pikir-pikir kenapa tidakmencoba. Di keluarga, saya paling bandel, paling gaul. Awalnya bapak dan kakak saya tidak setuju. Mereka menilai sudah ada bisnis keluarga dan kenapa tidak itu saja yang di jaga?

Mereka mengetahui karakter saya, kalau makin ditahan makin rebel. Ya sudah disetujui tetapi tidak boleh yang ada hubungannya dengan bisnis keluarga. Itu yang membuat saya berani meninggalkan bisnis keluarga dan memulai sendiri.

Bersama teman-teman kami membentuk perusahaan, awalnya di trading mulai dari semen, pupuk, beras, kapur, pokoknya bahan kebutuhan. Ternyata sukses, karena memang Lutfi tukang lobi yang bagus, saya pedagang yang bagus, Wisnu tukang hitung yang bagus dan Harry treasury yang bagus.Ya semuanya saling melengkapi.

Dalam perjalanannya, saya diskusi dengan partner-partner saya dan sampaikan, kok trading ini sesuatu yang come and go, saya ingin mencoba ke media, Lutfi menyambut dengan baik, lalu kami mulai membeli perusahaan billboard dan radio, terus Republika (sekitar tahun 2000).

Nah, dari situ sudah mulai tidak bisa berjalan bersama, saya ke media, yang lain ke trading. Dalam perjalanannya masing-masing partner punya visi yang berbeda. Wisnu diminta membantu bisnis keluarga (Grup Indika]. Akhirnya waktu itu kami sepakati, kalau pada sibuk, saya yang mengurusi bisnis media. Saat itu kami membentuk perusahaan namanya Mahaka Media dan Mahaka Niaga. Persentase kami 30:30:30 dan 10.

Bagaimana awalnya menemukan nama Mahaka, lalu apa artinya?


Nama Mahaka itu tidak sengaja ditemukan.

Saat kami berbincang, saya membuka kamus Jawa Kuno [Sanskrit], di situ tertulis Mahaka, artinya langkah pertama yang baik, yang besar. Seperti mahakarya [karya besar], maha itu sesuatu yang besar. Saya tidak sengaja menemukannya dan teman-teman menilainya cukup bagus.

Waktu itu saya mendirikan Mahaka Niaga, sedangkan Mahaka Media belum lahir. Dalam perjalanannya, teman-teman sibuk dan saya fokus menangani bisnis media. Ketika Wisnuke luar 2007, sahamnya saya beli, Harry keluar untuk bisnis lainnya, saya beli sahamnya. Sisanya saya dan Lutfi, komposisi 60: 40, lalu go public.

Kisah go public ini juga seru. Sebenarnya tidak mau go public tapi Republika adalah public company meski tidak listed, jadi saya agak aneh. Saya minta tolong bursa efek dan akhirnya go public secara strategik.

Dari tidak terdaftar menjadi terdaftar, dari situlah ada pemegang saham publik sampai saat ini, saya pegang 61%, Lutfi ada 20-an%, sisanya publik.

Rosan P. Roeslani juga beli melalui Recapital, dari situ kami bertumbuh dibawah bendera Mahaka, mulai dari koran, radio, online, terakhir Alif TV.

Lalu bagaimana dengan posisi Anda di TV One?

TV One itu tidak berada di bawah bendera Mahaka Media, itu VivaNews. Saya berpartner dengan Anindya [Viva Group] di TV One. Dulu diajak dalam rangka membantu secara operasional dan investasi, saya punya saham sedikit di TV One. Saya berusaha profesional menaruh diri pada tempatnya, tidak boleh conflict of interest.

Mayoritas saham milik mereka sekitar 90%. Hanya mereka melihat saya bisa membantu secara operasional. Kebetulan saya juga melihat ini tantangan.

Saya ini kan problemnya kutu loncat,jadi duduk di satu perusahaan setelah 2-3 tahun kalau sudah jalan saya tinggal, penyakit juga sih. Kenapa saya seperti itu? supaya saya memberi kesempatan kepada profesional untuk menjalankannya. Saya kembali memikirkan aspek strategis. Ini bisa dilihat di struktur Mahaka Media, dirutnya orang lain dan saya komisaris saja.

Apa pertimbangannya memilih terjun ke bisnis media?

Sebenarnya saat itu ada tiga pertimbangan.

Pertama, Indonesia pada 1998 menjadi negara terbuka, saya melihat media akan tumbuh karena tidak dikontrol. Kedua, terlepas pada tahun itu masa susah karena krisis, saya yakin ke depan pertumbuhan consumergoods akan tinggi. Media is a consumer goods. Media kan seperti produk, cuma dari angle yang lain, dinikmati dengan mata dan telinga. Ketiga, saya percaya hidup itu mesti give and take, bukan take and give. Saya percaya dengan media juga bisa  berkontribusi sesuatu kepada masyarakat.

Makanya juga saya membatasi diri di areal politik, saya tidak ikut parpol.

Kenapa saya masuk ke media? Saya lihat itu peluang seiring era kebebasan dan consumer goods yang akan berkembang, lalu dari segi edukatif, ini memberikan sesuatu, tetapi konsekuensinya saya tidak boleh terjebak pula diputaran itu. Ini prinsip dan pilihan.

Walaupun, 2 tahun terakhir ini keluarga saya menerima oke. Jadi waktusaya keluar dari bisnis keluarga untuk mengurusi Mahaka, mereka berkata â€Å“waduh”. Ketika Mahaka jalankan bisnis trading, mereka happy, tapi begitu kita masuk ke bisnis media, keluarga bilang lagi â€Å“waduh cari musuh, kalau nulis salah dimusuhin.” Mereka easy going sekali, ketika kita masuk ya mereka agak kurang menerima, bukan mereka tidak setuju dengan kemauan saya, tapi khawatir karena mereka ini kan pedagang.


Berapa lama pergulatan memutuskan pindah ke media?

Sekitar 6 bulanan, dan saya rasa itu pilihan yang tepat, karena ketika beberapa partner kita fokus ke tempat lain, niaganya juga goyang, bagi tugasnya jadi tidak seimbang.

Ke depan, apakah ada rencana membeli media atau televisi lagi?

Saya juga mesti terima kasih dalam pengembangan hidup saya ini banyak partner, seperti di Mahaka ada Lutfiada Rosan, di JAK TV ada Artha Graha (Tommy Winata), di TV One ada Bakrie, jadi banyak partner. Tapi untungnya partner-partner tadi mempercayakan kepada saya, saya dianggap transparan dan profesional, kalau tidak mana mungkin mereka mau bekerja sama dengan saya, saya transparan dan professional, dan yang terpenting ketika menjalankan I act asa professional not as an owner.

Kami sekarang menjadi punya dua bendera, Mahaka Media dan Alif. Mahaka Media untuk media dan Alif untuk entertainment company. Alif ini menaungi produk-produk terkait hiburan.

Kami mulai pisahkan antara media dengan entertainment. Kalau Beyond Media itu saya, holding company saya. Basicly Beyond Media bergerak sebagai holding. Mahaka Media itu public company, untuk TV One itu my personal.

Bagaimana melihat bisnis media ke depan di Indonesia?

Bisnis 360 derajat integrated services, bercampur antara media, entertainment, multiplatform dan konten is theking. Beberapa hal yang memang bagian yang bisa diefisiensikan kita efisiensikan, distribusinya kita gabungkan karena tidak ada hubungan dengan konten.

Pengalaman yang Anda selalu kenang dalam berbisnis?

Keputusan yang selalu dikenang, ya ketika saya memtuskan memulai usaha sendiri, terus memutuskan juga dari Mahaka Niaga ke Mahaka Media.

Sebetulnya orang tidak tahu pada 2006 saya lagi susah-susahnya karena masalah cash flow, kebetulan bisnis lagi tidak jalan, tapi tiba-tiba ada ekspansi,tapi cash flow tidak cukup.

Maka saya mesti jual lukisan dan jual mobil. Saya sebenarnya bisa berutang ke bank, tapi saya pikir itu ada lukisan atau mobil, kenapa tidak dipakai, padahal sayang lukisan itu ada karya Affandi. Anak buah saya tahu bahwa saya berani mengorbankan sesuatu yang pribadi untuk kita semua. Loyalitas itu mesti dibentuk dari dua pihak, dari kita sebagai pimpinan dan dari tim. Kalau dari anak buah ke atasan itu normal, tapi pimpinan itu harus memberi contoh.

Saya memang kontradiksi, di satu pihak dikatakan ekspansi, tapi loyal. Jadi seperti dua sisi, saya ini Gemini.

Di sisi satu sangat eksploratif dan satu sisi lainnya, secure. Saya juga membagi area publik dengan private.


Tuesday, September 10, 2019

Kisah Sukses Surya Paloh ( Metro TV )



Surya Paloh , pendiri dan pemilik Media Group (koran Media Indonesia dan Metro TV), 40 tahun, lahir di Tanah Rencong, di daerah yang tak pernah dijajah Belanda. Ia besar di kota Pematang Siantar, Sumut, di daerah yang memunculkan tokoh-tokoh besar semacam TB Simatupang, Adam Malik, Parada Harahap, A.M. Sipahutar, Harun Nasution. Ia menjadi pengusaha di kota Medan, daerah yang membesarkan tokoh PNI dan tokoh bisnis TD Pardede. Aktifitas politiknya yang menyebabkan Surya Paloh pindah ke Jakarta, menjadi anggota MPR dua periode. Justru di kota metropolitan ini, kemudian Surya Paloh terkenal sebagai seorang pengusaha muda Indonesia.

Surya Paloh mengenal dunia bisnis tatkala ia masih Remaja. Sambil Sekolah ia berdagang teh, ikan asin, karung goni, dll. Ia membelinya dari dua orang ‘toke’ sahabat yang sekaligus gurunya dalam dunia usaha, lalu dijual ke beberapa kedai kecil atau ke perkebunan (PTP-PTP). Di Medan, Surya Paloh mendirikan perusahaan karoseri sekaligus menjadi agen penjualan mobil.

Sembari berdagang, Surya Paloh juga menekuni kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Sosial Politik, Universitas Islam Sumater Utara, Medan. Di kota yang terkenal keras dan semrawut ini, keinginan berorganisasi yang sudah berkembang sejak dari kota Pematang Siantar, semakin tumbuh subur dalam dirinya. Situasi pada saat itu, memang mengarahkan mereka aktif dalam organisasi massa yang sama-sama menentang kebijakan salah dari pemerintahan orde lama. Surya Paloh menjadi salah seorang pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).

Setelah KAPPI bubar, ia menjadi Koordinator Pemuda dan Pelajar pada Sekber Golkar. Beberapa tahun kemudian, Surya Paloh mendirikan Organisasi Putra-Putri ABRI (PP-ABRI), lalu ia menjadi Pimpinan PT-ABRI Sumut. Bahkan organisasi ini, pada tahun 1978, didirikannya bersama anak ABRI yang lain, di tingkat pusat Jakarta, dikenal dengan nama Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).

Kesadarannya bahwa dalam kegiatan politik harus ada uang sebagai biaya hidup dan biaya perjuangan, menyebabkan ia harus bekerja keras mencari uang, dengan mendirikan perusahaan atau menjual berbagai jenis jasa. Ia mendirikan perusahaan jasa boga, yang belakangan dikenal sebagai perusahaan catering terbesar di Indonesia. Keberhasilannya sebagai pengusaha jasa boga, menyebabkan ia lebih giat belajar menambah ilmu dan pengalaman, sekaligus meningkatkan aktifitasnya di organisasi.

Menyusuri kesuksesan itu, ia melihat peluang di bidang usaha penerbitan pers. Surya Paloh mendirikan Surat Kabar Harian Prioritas. Koran yang dicetak berwarna ini, laku keras. Akrab dengan pembacanya yang begitu luas sampai ke daerah-daerah. Sayang, surat kabar harian itu tidak berumur panjang, keburu di cabut SIUPP-nya oleh pemerintah. Isinya dianggap kurang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia.

Kendati bidang usaha penerbitan pers mempunyai risiko tinggi, bagi Surya Paloh, bidang itu tetap merupakan lahan bisnis yang menarik. Ia memohon SIUPP baru, namun, setelah dua tahun tak juga keluar. Minatnya di bisnis pers tak bisa dihalangi, ia pun kerjasama dengan Achmad Taufik Menghidupkan kembali Majalah Vista. Pada tahun 1989, Surya Paloh bekerja sama dengan Drs. T. Yously Syah mengelola koran Media Indonesia. Atas persetujuan Yously sebagai pemilik dan Pemrednya, Surya Paloh memboyong Media Indonesia ke Gedung Prioritas. Penyajian dan bentuk logo surat kabar ini dibuat seperti Almarhum Prioritas. Kemajuan koran ini, menyebabkan Surya Paloh makin bersemangat untuk melakukan ekspansi ke berbagai media di daerah. Disamping Media Indonesia dan Vista yang terbit di Jakarta, Surya Paloh bekerjasama menerbitkan sepuluh penerbitan di daerah.


Pada umurnya yang masih muda, 33 tahun, Surya Paloh berani mempercayakan bisnis cateringnya pada manajer yang memang disiapkannya. Pasar catering sudah dikuasainya, dan ia menjadi the best di bisnis itu. Lalu, ia mencari tantangan baru, masuk ke bisnis pers. Padahal, bisnis pers adalah dunia yang tidak diketahuinya sebelum itu. Kewartawanan juga bukan profesinya, tetapi ia berani memasuki dunia ini, memasuki pasar yang kelihatannya sudah jenuh. Ia bersaing dengan Penerbit Gramedia Group yang dipimpin oleh Yakob Utama, wartawan senior. Ia berhadapan dengan Kartini Grup yang sudah puluhan tahun memasuki bisnis penerbitan. Ia tidak segan pada Pos Kota Group yang diotaki Harmoko, mantan Menpen RI. Bahkan, ia tidak takut pada Grafisi Group yang di-back up oleh pengusaha terkenal Ir. Ciputra, bos Jaya Group.

Kendati kondisi pasar pers begitu ramai dengan persaingan. Surya Paloh sedikit pun tak bergeming. Bahkan ia berani mempertaruhkan modal dalam jumlah relatif besar, dengan melakukan terobosan-terobosan baru yang tak biasa dilakukan oleh pengusaha terdahulu. Dengan mencetak berwarna misalnya. Ia berani menghadapi risiko rugi atau bangkrut. Ia sangat kreatif dan inovatif. Dan, ia berhasil.

Surya Paloh menghadirkan koran Proritas di pentas pers nasional dengan beberapa keunggulan. Pertama, halaman pertama dan halaman terakhir di cetak berwarna. Kedua, pengungkapan informasi kelihatan menarik dan berani. Ketika, foto yang disajikan dikerjakan dengan serius. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan koran ini dalam waktu singkat, berhasil mencapai sirkulasi lebih 100 ribu eksemplar. Tidak sampai setahun, break event point-nya sudah tercapai.

Ancaman yang selalu menghantui Prioritas justru bukan karena kebangkrutan, tetapi pencabutan SIUPP oleh pemerintah. Terbukti kemudian, ancaman itu datang juga. Koran Prioritasnya mati dalam usia yang terlalu muda. Pemberitaannya dianggap kasar dan telanjang. Inilah risiko terberat yang pernah dialami Surya Paloh. Ia tidak hanya kehilangan sumber uang, tetapi ia juga harus memikirkan pembayaran utang investasi.

Dalam suasana yang sangat sulit itu, ia tidak putus asa. Ia berusaha membayar gaji semua karyawan Prioritas, sambil menyusun permohonan SIUPP baru dari pemerintah. Namun permohonan itu tidak dikabulkan pemerintah. Beberapa wartawan yang masih sabar, tidak mau pindah ke tempat lain, dikirim Surya Paloh ke berbagai lembaga manajemen untuk belajar.

Pers memang memiliki kekuatan, di negara barat, ia dikenal sebagai lembaga keempat setelah legislatif, yudikatif dan eksekutif. Apalagi kebesaran tokoh-tokoh dari berbagai disiplin ilmu atau tokoh-tokoh dalam masyarakat, sering karena peranan pers yang mempublikasikan mereka. Bagaimana seorang tokoh diakui oleh kalangan masyarakat secara luas, kalau ia di boikot oleh pers. Dengan demikian, bisnis pers memang prestisius, memberi kebanggaan, memberi kekuatan dan kekuasaan. Dan, itulah bisnis Surya Paloh.


Monday, September 9, 2019

Jakob Oetama ( Sang Pendiri Kompas Gramedia )



“Saya ini hanya seorang guru yang belajar sejarah dan belajar jurnalistik sehingga akhirnya, karena berkat, dapat membawa dan mengorganisasi rekan-rekan untuk bekerja dalam sebuah media massa sampai sekarang ini.” Begitulah cara Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, dalam menggambarkan dirinya, seperti dikutip Kompas.com Juni lalu.

Jakob Oetama menyampaikan hal itu dalam sambutannya di suatu acara yang dihadiri Wakil Presiden Boediono.

Ada nada rendah hati dan sederhana di sana. Tidak tampak kesan jumawa. Siapa pun yang berkesempatan berbicara langsung dengan Jakob Oetama hampir pasti akan mendapatkan kesan serupa tentang sosok wartawan sekaligus pengusaha senior itu.

Begitu pula kesan yang kami tangkap ketika mewawancarai pendiri Kompas Gramedia itu. Di ruang kerjanya, Jakob Oetama menjawab pertanyaan Bisnis dengan didampingi Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia.

Jakob menyebut apa yang dihasilkannya di Kompas Gramedia dengan kata “lumayan”. Namun, “lumayan” dalam konteks ini ternyata sulit untuk sekadar dikatakan lumayan oleh orang lain. Lumayan di sini agaknya bisa pula dimaknai sebagai luar biasa.

Dalam grup yang disebutnya lumayan itu ada koran terbesar di Indonesia dengan oplag di atas 400.000 eksemplar, ada toko buku Gramedia (singkatan dari Graha Media) yang kini jumlahnya 98 buah dan tersebar di seluruh Indonesia.

Selain itu, grup ini juga mengelola belasan koran lokal serta 70 majalah dan tabloid (lihat ilustrasi).

Kompas Gramedia juga memiliki penerbitan, di antaranya Elex Media Komputindo, Gramedia Majalah, Gramedia Pustaka Utama, Grasindo, dan Kepustakaan Populer Gramedia.

Grup ini juga mengelola sekitar 26 hotel dan vila, antara lain Amaris Hotel, Santika Indonesia, The Kanaya, serta The Samaya.

Di sektor lainnya ada Bentara Budaya, Dyandra Promosindo, PT Gramedia Printing Group, PT Graha Kerindo Utama, dan di bidang pendidikan kini Grup Kompas Gramedia memiliki Universitas Media Nusantara.

Pada 2012, kelompok usaha itu menargetkan penambahan hotel hingga 62, toko buku 120 dan koran menjadi 26.

Begitulah “lumayan” versi rendah hati Jakob Oetama.

Namun, rendah hati bukan berarti tidak percaya diri.

Sepeninggal sohibnya, Petrus Kanisius Ojong pada 1980, Jakob Oetama seolah menjadi tumpuan utama bagi biduk konglomerasi yang sedang tumbuh itu, dan menjadi tumpuan semacam itu tentu memerlukan kepercayaan diri yang kuat.

“Saya nggak tahu bisnis. Tapi saya tahu diri kalau saya nggak tahu. Cuma barangkali otak saya dikaruniai kecerdasan yang memadai sehingga dengan kemauan belajar ya bisa menangkap apa yang diperlukan,” katanya menggambarkan apa yang dilakukannya sepeninggal mitranya dalam membangun Kompas Gramedia.

Dengan merendah dia mengaku basis bagi pembangunan grup sudah cukup kokoh ketika ditinggal oleh mitranya itu. “Saya melanjutkan saja,” paparnya.

Gayanya yang lembut, rendah hati, dan santun itu selalu dikaitkan dengan gaya seorang guru. Pria kelahiran Borobudur, 27 September 1931, agaknya tidak ingin melepaskan diri dari sosoknya sebagai seorang (mantan) guru. Sebelum terjun ke dunia jurnalistik, Jakob muda memang pernah menjadi seorang guru.

Dia pernah menjadi guru SMP Mardiyuana di Cipanas pada 1952 dan guru SMP Van Lith di Jakarta pada 1953, sebelum bergabung menjadi redaktur mingguan Penabur di Jakarta sejak 1955. Dari sanalah kariernya sebagai wartawan bermula.


Pada 1963 Jakob Oetama dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Intisari, majalah yang polanya meniru Reader’s Digest. Dua tahun kemudian dimulailah kiprahnya sebagai pemimpin Redaksi Kompas. Dari titik itulah namanya kemudian melambung ke jagat media di Indonesia serta menjadi seorang pengusaha yang diakui konglomerasinya.

Jakob menempuh pendidikan sebagian besar di Yogyakarta. Dari SD hingga SMA (seminari) dilaluinya di Kota Gudeg itu. Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke BI Ilmu Sejarah P & K, di Jakarta pada 1956, serta Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta.

Pada 1961, Jakob masuk ke Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada. Empat puluh dua tahun kemudian, perguruan tinggi itu memberinya gelar Doktor Honoris Causa karena pencapaiannya yang dianggap luar biasa di bidang jurnalistik Indonesia.

Sulastomo pernah menulis bahwa semula Jakob Oetama ragu-ragu untuk menerima gelar dari almamaternya itu.

“Jakob Oetama tidak silau oleh pujian yang diberikan kepadanya,” begitu komentarnya dalam sebuah artikel tentang gelar Dr (HC) untuk Jakob Oetama.

Organik dan organis Jakob Oetama merumuskan apa yang dibangunnya di Kompas dengan istilah “organik sekaligus organis”. Lembaga pers, katanya, haruslah organik sekaligus organis.

Dia menggambarkan lembaga yang organik itu seperti tubuh manusia yang terdiri dari macammacam bagian, tetapi merupakan kesatuan. Ada tangan, kaki, mata, tapi semua merupakan kesatuan dan kesatuan yang organik ini lalu karena bersatu saling tergantung menjadi organis.

“Organik itu ya lebih ke sosoknya yang tampak, yang lahiriah. Organis itu kesatuannya, yang lalu mempunyai fungsi, mempunyai peran. Organik bentuknya konkret, organis menjadi satu karena mempunyai fungsi bersama. Sesuatu yang berbeda tetapi bersama,” begitu paparnya.

Lembaga pers seperti Kompas, terdiri atas bagian redaksi, bagian percetakan, ada distribusi yang mengedarkan, ada keuangan, ada yang berhubungan dengan agen. “Bagian- bagian redaksi dengan percetakan, dengan bagian manajemen, bisnis, harus kerja sama. Kalau tidak, omong kosong bisa maju. Ya itulah organik yang organis.” Lembaga organik yang tidak organis, katanya, tidak bisa berjalan serempak. Dia memberikan contoh media yang dari sisi redaksinya hebat, tapi distribusinya tidak karuan, percetakannya jelek dan tidak tepat waktu, akan sulit untuk sukses.

Keseimbangan ini, katanya, tidak mudah terwujud mengingat wartawan umumnya ‘cerewet’.

Lalu apa yang dianggap sebagai kunci keberhasilan yang harus ada dalam individu-individu? Menurut Jakob, salah satu yang terpenting adalah semangat untuk bekerja dengan all out alias tidak setengahsetengah.

Berkali-kali Jakob Oetama menekankan perlunya all out dalam bekerja baik oleh wartawan, pemasaran, bagian yang berurusan dengan agen, maupun bagian lainnya.

Semangat kerja all out ini, menurut dia, kurang ada pada bangsa Indonesia. “Kita ini perlu mengubah karakter bangsa kita yang baik, rajin, tapi kurang all out dan kurang konsisten,” begitulah dia menggambarkan peran all out dalam kesuksesan.

Khusus untuk pengelolaan bagian keuangan, Jakob Oetama punya resep tambahan. Orang yang dipercaya mengelola uang, selain cakap dan andal juga harus pandai menjaga mulut, harus tutup mulut.

“Misalnya orang yang pegang bisnis ya orang yang tahu bisnis. Saya ambil contoh, yang pegang uang bukan hanya perlu jujur, perlu tutup mulut. Kelihatannya sepele ya. Tapi coba orang yang pegang uang itu tidak tutup mulut. Nah itu keliatannya sepele, tapi itu etika profesi yang sangat diperlukan.” Penyesalan Berdasarkan pengalamannya lebih dari 4 dekade mengelola media, Jakob Oetama percaya bahwa koran tak akan mati kendati serbuan dari medium lain seperti televisi dan Internet kian gencar.

Dia menyebut apa yang disajikan televisi dan Internet itu sebagai tontonan.

Dan itu tak cukup. Surat kabarlah yang mengisi kekosongan itu dengan sajian yang lebih mendalam, tetapi juga dengan formula yang tetap menghibur.

Kendati begitu, Jakob mengakui peran penting televisi. Dia juga mengaku menyesal telah melepaskan TV7, yang awalnya dimiliki Kompas Gramedia, terlalu cepat. Pada masa kini, katanya, untuk menjangkau seluruh masyarakat mau tak mau harus melalui televisi.

Dalam soal Internet, Kompas telah mengembangkan Kompas Cyber Media. Belakangan, layanan blog Kompasiana semakin populer.

Grup itu bahkan mengantisipasi hadirnya era multimedia dengan membangun Universitas Multimedia Nusantara. Agaknya, meskipun Jakob Oetama percaya koran tidak akan mati, grup tersebut juga all out dalam menyongsong era multimedia.


Sunday, September 8, 2019

Budiono Darsono ( Detik.com )



JAKARTA: Transaksi pembelian Detik.com oleh Chairul Tanjung pada pertengahan  tahun ini mengejutkan pelaku bisnis media di negeri ini. Belum lama ini Bisnis menemui Budiono Darsono salah satu pendiri Detik.com untuk berbincang mengenai awal pendirian dan  transaksi penjualan tersebut. Sebagai catatan, Detik.com yang dibangun dengan modal awal Rp40 juta setelah 13 tahun  dilego senilai US$60 juta.

Siapa saja yang  semula mendirikan Detik.com ?

Ada 5 orang, kami anggap ada dua babak sebagai founder. Abdul Rahman, Budiono Darsono, Didi Nugrahadi, Yayan Sopyan, dan Calvin Lukmantara. Yang pertama empat nama pertama yang disebut. Didi dan Yayan pada 2002-2003 melepas semua sahamnya ke kami; ke Abdul, saya, dan Calvin. Tiger Investment kemudian masuk sekitar 2004-2005 dan saham kami terdilusi.

Bisa anda ceritakan sejarah detik.com ?

Pada akhir 1996, Agranet publishing Internet, membuatkan situs. Aku Yayan, Abdul, Didi, sebelum ada Detik menggunakan nama PT yaitu Agranet. Setelah kami bisa bikin situs sendiri, kami dapat klien yaitu Kompas.com.
Waktu itu Kompas.com ingin redesign, kami mengajukan tender dan menang. Lalu kami taruh server-server mereka di AS. Kontennya merupakan pindahan dari edisi cetak. Dalam proses perjalanan ini, kami enggak punya uang. Servernya kan gratis pada waktu itu, masih kecil kapasitasnya.


Uang pertama itu kami dapat dari Kompas.com. Kami gunakan uang itu sebagai modal. Lalu kami bilang ke Kompas, ini tidak salah, tapi akan lebih baik kalau versi online itu isinya berita terus menerus, jadi jangan hanya memindahkan edisi cetak saja.
Klien-klien kami yang media itu tidak ada yang melakukannya. Akhirnya, kami putuskan untuk membuat sendiri.
Saya sempat bersumpah untuk enggak jadi wartawan. Waktu itu Berita Buana dibreidel, Detik dibredel. Kapok saya. Ganti profesi jadi web designer. Akhirnya membuat untuk contoh.


Kami bermimpi macam-macam. Kami mulai dengan satu jurnalis pada 9 Juli 1998 yang sampai saat ini masih bekerja bersama Detik.com. Investasi awal Rp40 juta. Web designernya 40 juta itu digunakan untuk membelikan server Kompas. Kami deal dengan sebuah perusahaan AS, beli US$20.000 untuk server Kompas.


Tapi saya dapat server gratis. Kalau enggak ada Kompas, enggak ada Detik. Meskipun tidak secara langsung, rejekiku dari Kompas. Dalam berbagai seminar, aku ceritakan, yang menghidupi Detik itu ya dari Kompas.
Proses 10 tahun itu, aku, Abdul, dan Calvin sering terlibat diskusi. Memang ada pemikiran bahwa kami ini sudah mentok. Kalau diteruskan memang tetap tumbuh, tapi harusnya bisa lebih. Di Indonesia, potensinya besar, harusnya bisa lebih tinggi lagi.

Dalam perjalanan selama 13 tahun, kapan Anda dan teman-teman merasakan sebagai masa terberat?

Pada 2000-2002. Itu karena kan persepsi dotcom hancur-hancuran. Di dunia, tidak hanya Indonesia, bubble dotcom pecah. Persepsi kemudian hancur. Detik.com pada waktu itu sudah mendapatkan iklan yang lumayan. Tapi persepsi dengan industri yang hancur-hancuran ini kan berpengaruh ke detik.com. Pada 2001 itu, kami sempat PHK [pemutusan hubungan kerja] 27 orang karena harus menyelamatkan Detik.com.


Pada waktu itu saya sempat berantem dengan Abdul karena dia menganjurkan untuk mem-phk karyawan. Saya bantah. Dia bilang,  di luar negeri perusahaan rugi saja PHK karyawannya, kami juga harus melakukan hal yang sama. Dia bilang kita harus rasional, kalau hanya emosional, Detik.com bisa bubar. Kemudian, dengan berat hati akhirnya memberhentikan pegawai. Tapi justru karena keputusan Abdul, Detik.com selamat.


Sebanyak 27 orang diberhentikan dari jumlah karyawan waktu itu yang  masih 80 orang. Abdul itu rasional banget. Saya Indonesia banget, memikirkan banyak hal. Tapi keputusan Abdul betul. Kalau tidak mengambil langkah itu, mungkin sudah gulung tikar. Pada 2002-an kami sudah lebih baik, sudah bisa menghidupi diri sendiri, tapi saya dan Abdul tidak menerima gaji. Karyawan juga masih telat mendapatkan gaji. Pada 2004, kami sudah untung. Awalnya untung kecil, tapi lalu naik, naik terus.





Setelah dapat uang dari Tiger, kami gelindingkan dan hidup sendiri. Malah uangnya Tiger utuh. Saya lupa angkanya. Tiger itu sempat marah, karena uangnya idle. Jadi kami punya cash banyak. Tiger tidak menaruh perwakilan di sini; hanya menaruh uang saja. Mereka percaya sekali. Kami itu meski perusahaan begini, kami pakai akuntannya Price Water House. Tapi rapor selalu kami kirim kepada mereka. Setelah Tiger masuk, kami terus tumbuh. Mereka basisnya di New York, AS. Banyak menanamkan modal di perusahaan dotcom.


Mereka rutin berkomunikasi dengan kami. Mereka sepenuhnya menyerahkan kepada kami. Kadang-kadang memberi saran, ide-ide. Pernah juga mengajak kami untuk melihat investasi lain di dotcom yang mungkin dikembangkan di Indonesia.
Yang paling penting target tercapai dulu tahun ini. Pada 2012, harapannya tentu ide untuk mencapai lebih dari 100% bisa tercapai, meski saya bukan lagi pemilik. Kalau tidak, bisa sedih, kan dilepas untuk mencapai target itu.

Bagaimana anda membagi peran dengan pendiri yang lain ?

Abdul lebih ke bagian keuangan, bisnis kita kelola bareng-bareng, sedangkan saya mengurusi konten.Saya berteman dengan dia dari Tempo. Dia dulu dari Tempo ke Swa. Abdul itu kuncinya. Satu hari saya kan pengangguran begitu Tabloid Detik dibredel saya kan enggak ada pekerjaan. Lalu oleh Majalah Swa saya diminta melatih wartawannya. Abdul redaktur eksekutif di Swa. Kalau selesai mengajar, saya suka ngobrol bareng Abdul. Karena sebelumnya kami sudah dekat. Dia sudah mengerti Internet,  saya enggak mengerti waktu itu. Dia satu-satunya di redaksi Swa yang berlangganan Internet dengan biaya sendiri.


Pada waktu itu masih based on text, enggak ada gambarnya. Saya masih belum jelas bisnisnya bagaimana. Abdul sudah memiliki gambaran. Dari situ saya lalu bercerita kepada Didi, tetangga saya. Dulu dia pegawai Bank Exim. Lalu kami bertiga. Lalu muncul Yayan. Sofyan, yang pernah redaktur budaya Tabloid Detik yang juga menganggur. Yayan sebelumnya mencari pekerjaan untuk adiknya. Yayan akhirnya bergabung. Lahirlah PT Agranet. Satu keajaiban, keberuntungan, pada akhirnya saya harus bilang saya mesti berhenti. Akan jauh lebih bagus ketimbang diteruskan. Semakin cepat pensiun, lebih bagus, akan ada regenerasi, lebih segar.

Bisnis model detik.com seperti apa ?

Awal-awal itu bisnis model yang menjadi perhatian. Ketika mengelola ini, ketika saya turun dari mobil, ada satpam yang jemput untuk mengambil tas. Enggak boleh. Tidak boleh juga satpam bersikap terlalu hormat kalau saya datang. Lalu saya juga tidak memiliki ruangan. Semua orang bisa bertemu saya kapan saja. Saya membayangkan ini kan sejak awal saya  itu bukan siapa-siapa. Kalau Budi bukan siapa-siapa, enggak disapa, ya saya enggak apa-apa.
Saya tekankan juga ke anak-anak. Mereka enggak boleh ke Detik.com. Magang pun enggak boleh, cari tempat lain.

Siapa orang yang menginspirasi Anda ?

Aku belajar nulis itu dari Fikri Jufri. Roh-nya dari Goenawan Muhammad. Dua orang itu duduknya di seberang saya waktu saya di Tempo. Fikri itu guru saya langsung. Bersama Goenawan banyak berdiskusi macam-macam. Yang memberikan kesempatan itu Eros Djarot. Di Tabloid Detik, dilepas, dikasih duit, diminta mengurus penuh. Tiga orang ini sangat berpengaruh hingga hari ini.

Soal divestasi Detik.com, apakah semuanya dilepas ?

Semuanya dilepas. Kalau kemarin [Anda bertanya tetapi tidak dijawab] bukan karena ada perjanjian enggak boleh ngomong, tapi karena belum ada cerita [soal harga]. Jadi susah ngomong. Nanti bilang iya, tidak, bilang tidak, ternyata iya, kan repot. Mendingan diem.

Sebelum transaksi komposisi kepemilikannya detik.com seperti apa ?

Aku nggak mau cerita detail ya. PT-nya itu bernama Agranet, yang pemiliknya Budiono Darsono cs dan Tiger. Tiger ini dari Amerika Serikat sedangkan mayoritas Budiono cs. Yang diakuisisi dalam transaksi ini adalah 100% saham PT Agranet.


Negosiasi penjualan detik.com berlangsung 2 tahun, bisa diceritakan prosesnya ?


Pada tahap awal dulu itu tidak sepakat, ada perbedaan di harga.  Dua tahun itu mereka [CT Corp] gigih. Pak CT [Chairul Tanjung] menilai new media ini bisnis masa depan, akan tumbuh terus. Pertumbuhannya bagus namun kami sempat tidak sepakat pada harga. Tetapi setelah itu tidak berhenti. Setiap saat menanyakan. Mereka juga menaikkan harga akuisisi. Kami masih belum sepakat. Proses sampai menemukan kecocokan harga justru mendadak, kilat.


Prosesnya tergolong cepat. Kenaikan harga yang mereka tawarkan juga signifikan. Di samping soal harga, ada alasan kami harus melepas. Antara alasan dan harga itu nyambung. Alasannya yang pertama, kami sudah 13 tahun mengelola ini, saya dan Abdul Rahman.
CEO-nya itu Abdul Rahman, saya wakil CEO. Selama 13 tahun itu kan kami memiliki banyak obsesi. Memang kami setiap tahun keuntungan bisa tumbuh 100%, tetapi ini nominal yang jauh dari impian.



Tahun lalu, laba bersih kami kira-kira Rp20 miliar, tahun ini Insya Allah bisa Rp40 miliar. Ada pertumbuhan yang setiap tahun mencapai 100%. Tetapi bayangan kami, pertumbuhan itu masih jauh dari yang bisa kami capai. Karena kami tidak memiliki lebih banyak resources. Misalnya begini, kalau kami ingin investasi yang nilainya Rp30 miliar kan mikir. Kalau kami lakukan ada kemungkinan laba yang kami hasilkan habis. Banyak potensi besar yang tidak bisa kami ambil karena keterbatasan, tidak hanya finansial.


Kalau ingin bersinergi misalnya, ya kami tidak memiliki apa-apa. Detik.com kan hanya Detik.com tetapi tidak memiliki resources lainnya. Ini menjadi obsesi bagi kami. Satu hal yang bisa kami lakukan adalah detik.com akan dapat tumbuh besar kalau diambil oleh grup yang tepat. Grup yang memiliki sumber daya dan finansial. Selama proses pemikiran untuk melepas detik.com yang tertarik bukan hanya Pak CT. Ada banyak pihak, baik dari pemain lokal maupun dari luar negeri,  ada 3 hingga 4 pihak.


Kalau pada era 2003-2004 pemain dari luar yang datang. Mereka umumnya menaruh uang saja. Sejak tiga tahun lalu, pemain lokal juga mulai tertarik. Pada proses ini kami mulai memilih siapa pihak pembeli yang tepat. Kami bertemu langsung dengan CT Corp. Tidak melalui pihak ketiga.

Peralihan kepemilikan ini apa menjamin semua rencana Detik.com akan selaras dengan yang keinginan CT Corp ?

Mereka itu memiliki obsesi yang sama. Jadi obsesi saya itu, saya boleh sebut 99% sama dengan CT Corp. Idenya sama. Karena kita punya ide dan gagasan yang sama untuk mengambil potensi yang besar itu maka posisi Abdul Rahman akan tetap dipertahankan setelah perubahan kepemilikan. Saya juga tetap dipertahankan sebagai direktur untuk konten dan pemimpin redaksi. Kami sedang menyusun komposisi direksi. Tapi saya sudah diminta secara resmi. Abdul juga demikian.

Faktor apa lagi yang akhirnya membuat akuisisi ini terlaksana?

Saya dan Abdul kan bisa dibilang manajemen amatiranlah. Aslinya kan kemampuannya menulis. Kami tahu 13 tahun ini tumbuh dan bagus, tapi harusnya sebulan ini bukan Rp15 miliar, harusnya angkanya sudah Rp100 miliar.


Kenapa tidak bisa ?


Kami sendiri terobsesi. Jadi justru kalau ingin membawa Detik.com lebih besar, harus dilepas kepada yang lebih mampu. Jatah saya hanya sampai di sini. Kami tahu dirilah.

Bagaimana transaksi penjualan Detik.com bisa dituntaskan ?

Kebanyakan enggak formal, bukan suasana yang formal. Bukan dalam kaitan negosiasi. Matching justru di layer-layer informal. Kalau formal itu justru enggak ketemu. Kami sering bertukar ide menggunakan social media, twitter misalnya. Dari situ chemistry itu muncul. Justru tidak terucap. Baru setelah ini, oke, baru terucap. Tapi banyak yang tidak terucap. Selama 2-3 hari kita sudah teken. Ini mengalir dan sangat cepat. Dari pihak sini maupun Pak CT.

Ada perasaan menyesal ?

Jangan pernah menyesali apa yang kita lakukan.
Obsesi setelah ini apa ?

Saya hanya ingin membuka warung kopi. Saya tidak memiliki pemikiran untuk membuat bisnis serupa Detik dan mengulang kesuksesannya. Mustahil. Detik.com itu lahir, sukses, karena ada kondisi-kondisi tertentu. Momentum itu tidak dapat diulang. Misalnya, detik.com sebagai pionir. Kalau saya buat lagi kan bukan pionir tapi pengikut. Saya tidak pernah bermimpi mengulangi sukses pada hal yang sama.

Ide warung kopi dari mana ?

Saya dengan Hana, istri saya, sudah lama berpikir, kami harus punya aktivitas yang kami senang. Saya pengen punya warung, yang saya ikut bekerja di situ. Enggak hanya saya jadi bos. Harus melayani sendiri. Warung kopi. Sekarang kami belajar. Saya dan istri pergi berkeliling untuk mencari konsep. Saya bertemu istri saya di Surabaya Post, dia wartawan juga. Menikah 1989. Dengan dua anak.

Anda dulu sempat bermain di koran siang….

Banyak orang keliru menganggap kami ingin bikin koran. Tapi itu adalah biaya promosi. Biar tidak hanya sekedar promosi, kami ingin menghasilkan sensasi. Kami bikin koran, terbit dua kali, siang dan sore. Itu kalau akal sehat aja jontor jalanin begitu. Anggarannya Rp300 juta untuk 3 bulan. Setiap hari terbit. Edisi siang 10.000 eksemplar, edisi sore 6.000 eksemplar.

Kami sebar seolah-olah menggunakan agen. Pada waktu itu kami menjembatani pembaca untuk mengakses dotcom. Situasinya kan beda. Mereka harus dikasih koran untuk membawa ke konten dotcom. Selama ini kan kami juga tidak anti cetak. Setelah 3 bulan, kami putuskan untuk berhenti.

Kalau berbicara dukungan finansial, ada banyak opsi lain seperti IPO dan obligasi yang bisa diambil. Kenapa ini tidak dijadikan pilihan ?

Kami sudah memikirkan pilihan-pilihan itu, tapi enggak lah. Kembali lagi kami memikirkan bahwa kami ini manajemen amatir. Beruntung 13 tahun bisa seperti sekarang ini. Kami tahu, sebagai pemilik kami sampai di sini. Kami mendapatkan pihak yang datang dari chemistry yang sama, pandangan yang sama, dan sepakat perihal pricing.

Soal karyawan pascaakuisisi bagaimana?

Semua karyawan sudah kami ajak berbicara. Pak CT itu kan datang untuk mencari resources baru, bahkan mereka tekankan usahakan tidak ada satu pun yang keluar. Jumlah karyawan sekitar 320 orang ini resources baru. Marketing dan sales juga demikian. Apalagi bisnis dotcom itu berbeda, misalnya dengan televisi dan media cetak, skill-nya khusus.

Uang dari penjualan detik.com ini mau diinvestasikan kemana ?

[Sampai sekarang] Saya masih bekerja



Sampai kapan ?

Sampai Pak CT butuh saya. Tapi regenerasi harus terjadi, semakin cepat, semakin bagus. Enggak bagus orang terlalu lama di sini. 13 tahun jadi pemimpin redaksi, menurut saya, itu ngawur. Ha-ha-ha.


Apa rencana setelah pensiun ?

Saya mau pensiun buka warung kopi. Ketika Berita Buana dibredel pada 1990. Saya ke Parung di kompleks baru jualan beras dan lain-lain. Kira-kira 7 bulan, datang Ali, sekretaris Eros Djarot minta tolong untuk menjalankan Tabloid Detik. Berangkatlah saya bantu dia. Setahun kemudian, dibredel bareng Tempo dan Editor.

Rencana bisnis Detik.com seperti apa setelah transaksi penjualan ?


Kami masih menggunakan business plan yang ada, yang sudah dibuat sebelum akuisisi, hingga akhir tahun ini. Setelah itu, baru akan ketahuan, berapa suntikan dana yang dibutuhkan. Secara arus kas, kami masih sangat bagus. Tahun ini kami anggarkan sekitar Rp20 miliar, kebanyakan untuk teknologi informasi karena kami banyak mengembangkan aplikasi. Kami juga menambah kapasitas server dan sebagainya.

Apa yang sudah dan belum sampai Desember ?

Proyek baru banyak, kami tetap dalam schedule yang sama. Seperti mengubah desain tepat pada 9 Juli. Detikkios misalnya, khusus untuk iPad. Kami mengundang semua penerbit untuk berjualan di detikkios. Semacam pengecer, dengan pembagian Apple 30%, detik.com 30%, penerbit 40%. Ini sudah di-approve oleh Apple.

Ini sederhana sekali, pemilik konten hanya mengirimkan file PDF. Platform sementara ini di iPad. Nanti kami juga akan melihat Android dan RIM. Tapi yang paling siap kan iPad. Detikkios ini dikembangkan sendiri. Kami punya jagoan-jagoan. Kami juga mengembangkan aplikasi di luar detik.com tetapi sebenarnya ini sinergi. Kami misalnya telah meluncurkan Makan Di Mana.

Lalu kami luncurkan Masak Apa, di beragam platform; BlackBerry, Android, iPad. Aplikasi ada foto, resep. Misalnya orang di supermarket, dia bisa melihat bahan-bahan apa yang diperlukan untuk membuat masakan. Sesampainya di rumah, dia juga bisa melihat lagi cara memasaknya. Kalau aplikasi Makan Di Mana akan membantu pengguna mencari tempat makan. Misalnya dia ada di satu tempat, tinggal gunakan aplikasi ini, nanti akan tampak hasil tempat-tempat makan di sekitar itu. Kami juga memiliki Detikdeal. Ini yang sepertinya membutuhkan resources besar karena kami serius di commerce.

Masa depan Detik.com akan bergantung pada layanan apa ?

Ke depan itu ada dua hal yang perlu dilihat di new media. Pertama adalah tetap web, yang kedua mobile berbasis aplikasi. Karena itu, detik.com harus main di aplikasi. Kami juga mengembangkan aplikasi alamatku. Itu sudah dalam proses. Aplikasi di mana orang mencari alamat. Ini akan digabung dengan peta. Model bisnisnya akan ada misalnya iklan. Sekarang layanan sejenis tersedia dengan nama bukukuning.com. Nanti akan dikembangkan di dalam aplikasi alamatku.


Bagaimana mengenai rencana sinergi dengan media di bawah CT Corp [Ada Trans 7 dan Trans TV] ?

Kami sedang membahas. Belum bisa secara detail diceritakan. Kami juga akan membahas sinergi seperti apa. Ada beberapa contoh grup besar yang mencoba menyinergikan beragam konten tapi gagal. Ini akan menjadi pengalaman dan memberikan pelajaran. Tim ini solid. Tidak ada resistensi. Saya percaya tidak. Saya tekankan ini yang berubah hanya kepemilikan. Ke keluarga semua juga begitu. Ke istri dan anak-anak.

Proses kaderisasi yang Anda persiapkan seperti apa ?

Bagus, selama 2 tahun terakhir ini, sebetulnya saya lebih seperti pemimpin redaksi korporat. Di level wakil pemimpin redaksi ada dua orang. Mereka yang menjalankan operasional, meski saya tetap mengecek. Mereka sudah jagoan operasional, naluri sudah jalan. Naluri untuk melihat konten mana yang menarik dan perlu dikembangkan. Kalau jaman dulu kan enggak punya alat untuk mendeteksi, sekarang kan bisa real time untuk mengetahui mana yang sedang banyak dibaca. Skenario apa yang dipersiapkan untuk Detik.com? Saya enggak tahu karena saya bukan lagi pemiliknya. Saya yakin Pak CT memiliki skenario yang terbaik untuk Detik.com. Ada atau pun tidak ada saya dan Abdul.

Di Indonesia perbedaannya apa?

Di luar, seperti Spanyol dan Inggris, online advertising mengalahkan TV, apalagi cetak. Kenapa? Karena industrinya jalan, satu sama lain. Pemahaman juga terjadi. Di sini masih susah. Misalnya di biro iklannya belum paham, kliennya juga. Seiring dengan pertumbuhan ini, harusnya industri ini bergerak. Nah pergerakan ini bisa terjadi kalau betul-betul digali. Kalau di luar negeri, pemilik media cetak berani menutup media cetaknya dan pindah ke online. Berani mereka mengambil keputusan seperti itu.


Di sini? Enggak berani. Aku sudah bilang, cetak boleh mati, tapi media enggak akan mati. Di sini banyak yang mengerjakannya setengah-setengah. Nanti terlambat bisa enggak kebagian. Makanya kita lihat banyak yang gagal masuk ke online karena ragu-ragu. Kami pernah menerima kunjungan dari salah satu koran tertua di Denmark. Mereka datang ke Detik.com. Mendengar Detik.com sebagai media online pertama di dunia.


Mana sih media yang pertama murni menjalankan rule media online. Mereka belajar, 3 bulan kemudian, koran itu menutup edisi cetaknya, pindah ke online. Mereka mendapatkan iklan besar-besaran karena perubahan ini. Karena ketika koran itu tutup, pembaca mau enggak mau kan ke versi onlinenya. Saya memiliki keyakinan yang besar karena ada contohnya.


Kisah Sukses Mochtar Riady ( Pemilik Lippo Group )

Nama Mochtar Riadi mungkin sedikit asing bagi Anda yang belum mengenal dunia bisnis dengan baik. Namun jika mendengar nama Lippo Group mu...